BAB l
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi islam (ekonomi syari’ah) adalah salah
satu bagian dari muamalah. Ekonomi islam cukup terbuka dalam memunculkan
inovasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu
prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan yang sangat
penting. Maslahah merupakan konsep terpenting dalam pengembangan ekonomi Islam.
penting kiranya bagi kita untuk memahami konsep
maslahah, yang menjadi salah satu pilar penting dalam ekonomi dan bisnis
syariah. Maslahah merupakan sebuah konsep yang berangkat dari tujuan utama
syariat Islam, yang dikenal sebagai maqashid as-syariah. Menurut Imam
As-Syatibi, orientasi utama dari maqashid as-syariah adalah memberikan
perlindungan dan proteksi terhadap lima hal, yaitu agama, diri, keturunan,
akal, dan harta. Kelima aspek ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam
kehidupan, sehingga kerusakan pada salah satu aspek saja akan menimbulkan
implikasi negatif yang luar biasa.
Dengan demikian, maslahah merupakan konsideran
utama di dalam mengevaluasi nilai manfaat dan madharat dari kegiatan ekonomi
dan bisnis. Perintah untuk menilai manfaat dan madharat, kemudian menimbang
mana yang lebih besar, manfaatnya ataukah madharatnya, telah Allah nyatakan
secara eksplisit dalam QS 2 : 219. Dan ayat tersebut menegaskan bahwa segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan Allah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian maslahah mursalah menurut para ulama
2.
Pembagian maslahah
3.
Pandangan ulama tentang kehujjahan maslahah
mursalah dalam syari’ah
4.
Syarat-syarat maslahah mursalah
5.
Tingkatan maslahah
6.
Penerapan maslahah dalam kasus ekonomi dan
keuangan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maslahah Menurut Para Ulama
Kata maslahah
berasal dari kata bahasa arab صَلَحَ – يَصْلُحُ menjadi صُلْحًا
atau مَصْلَحَةً
yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maslahah (Kesejahteraan
Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama
Ushul yaitu, maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk
mewujubkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas
pengakuan atau pembatalannya.
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat,
baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila di
katakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu
suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut
ilmu itu penyebab di perolehnya manfaat lahir dan batin.[1]
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam
ta’rif yang diberikan diantaranya :
1. Imam Ar-Razi
Mendefinisikan sebagai berikut :
Maslahah ialah,
perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada
hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya
dan harta bendanya.
2. Imam Al-Ghazali
mendefinisikan sebagai berikut :
Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya ia menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya ia menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
3. Al-Khawarizmi mendefinisikan maslahah sebagai
berikut :
Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana (mafsadat) atau hal-hal yang merugikan diri manusia (al-khalq).
Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana (mafsadat) atau hal-hal yang merugikan diri manusia (al-khalq).
Secara terminology,, terdapat beberapa definisi
maslahah yang di kemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut
mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali[2],
mengemukakan bahwa prinsifnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Mazhab Maliki yang menjadikan Maslahatul Mursalah sebagai sumber
fikih dengan dua alasan. Pertama bahwa kemaslahatan manusia selalu berubah
menurut perubahan ruang dan waktu, dan setiap saat kemaslahatan itu
bermunculan, karena itu kalau sumber fikih itu terbatas kepada nash saja akan
terdapat banyak kemaslahatn yang tidak dapat ditetapkan hukumnya sedang yang
seperti ini sangat bertentangan dengan tujuan syariat itu sendiri karena
syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Kedua secara diduksi
banyak ketentuan- ketentuan fikih yang ditetapka oleh para sahabat,
tabi’it-tabi’in dan para ulama imam mazhab yang bersumber dari maslahatul
mursalah.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah
Mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung
syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan
akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa
Ahmad Al-Zarqa, Maslahah Mursalah adalah maslahah yang masuk
dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya
adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk
umum.Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban
memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat
diambil suatu pemahaman, bahwasanya Maslahah Mursalah adalah memberikan
hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak
tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan
yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan
kemaslahatan yang bersifat umum pula.
B.
Pembagian
Maslahah
Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa
pembagian maslahah, jika di lihat dari beberapa segi.
A. Di lihat dari
segi kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli ushul fiqih membaginya
kepada tiga macam yaitu :
1.
Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan
yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama,jiwa, akal,
keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini di sebut al-mashalil
al-khamsah.
2.
Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang
berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar
manusia. Misalnya dalam mu’amalah di bolehkan melakukan jual beli pesanan.
3.
Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahtan
yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan
sebelumnya. Misalnya di anjurkan memakan makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus-bagus.[3]
B.
Dilihat
dari berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammd Mushthafa al-Syalabi, guru
besar ushul fiqih di universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu :
1.
Mashlahah
al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir
zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah.
2.
Mashlahah
al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan
tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan
muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda
antara satu daerah dengan daerah lainnya.[4]
C.
Dari
segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1) Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2) Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3) Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci.
D. Dari segi kandungan maslahah :
1) Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2) Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3) Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci.
D. Dari segi kandungan maslahah :
1)
Maslahah
al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk semua kepentingan orang, tetapi bisa
berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
2) Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud) .Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
2) Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud) .Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
D.
Pandangan Ulama tentang Kehujjahan Maslahah Mursalah dalam Syari’ah
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul. Maslahah mursalah tidak dapat
menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian
ulama malikiyah seperti ibnu Hajib danahlizahir. Maslahah mursalah dapat
menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama
syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang
mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum
ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat),
sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir
kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan
yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah
yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal
pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum,
yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang
tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan
tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karna
kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering di dasarkan pada kehendak hawa
nafsu. Misalnya di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapat bagian harta
warisan yang menurut mereka hal tersebut
mengadung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka , tetapi pandangan
ini tidak sejalan dengan kehendak syara’ karenanya tidak di namakan maslahah.
Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang di jadikan patokan dalam
menetukan kemaslahatan itu adalah kehendak
dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Mengenai
kedudukan maslahah sebagai dalil hukum, Imam Syaukani mengatakan bahwa ada
empat pendapat ulama dalam memakai maslahat mursalat sebagai dalil untuk
menggali hukum islam, yaitu:
1.
ulama yang tidak memakai maslahat
mursalat secra mutlak;
2.
Imam Malik menerapkan Maslahat
Mursalat secara mutlak;
3. Ibnu Burhan dan al-Juwaini dan mayoritas
ulama Hanafiyah membolehkan memakainya sebagai dalil jika mula’imah (sesuai)
dengan ashl al-kulli (prinsif umum) dan ashl-juz’I (prinsif parsial) dari
prinsif-prinsif syariat;
4.
al-Ghazali dan al-Baidhawi menerima
maslahat dengan tiga syarat, yaitu :
a.
terdapat kesesuaian maslahat dengan
maksud hukum islam dan tidak bertentangan dnegan dalil yang pasti;
b.
maslahat tersebut dapat diterima
oleh akal;
c.
maslahat bersifat dharuri, yakni
untuk memelihara salah satu dari ; agama, akal, keturunan, kehormatan dan harta
benda. Untuk
mengurangi perbedaan pendapat para ulama dalam menanggapi maslahat, sebenarnya
dapat di lakukan apabila maslahat mursalat di kaitkan dengan maqasid
al-Syari’ah.[5]
Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera
Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa
mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam penentuan hukum,
yaitu sebagai berikut [6]:
1. Praktek para
sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat
mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an
dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun
menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut
hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak
dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin
Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara
harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin
Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada
mereka yang mencampur susu dengan air - Para sahabat menetapkan hukuman mati
kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara
bersama-sama.
2. Adanya
maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan
mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i
3. Seandainya
maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama
berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan
mengalami kesulitan dan kesempitan.
E.
Syarat-syarat
Maslahah Mursalah
Maslahatul Mursalah yang dapat dijadikan sumber fikih apabila telah
memenuhi tiga syarat; ketiga syarat ini untuk menjamin agar ketentuan hukum
yang bersumber dari Maslahatul Mursalah tidak bertentangan dengan jiwa syariat[7].
Tiga syarat yang dimaksud ialah:
1)
Maslahah
yang dimaksud adalah maslahah yang sebenarnya bukan hanya semata dugaan.
2)
Maslahah
itu untuk masyarakat banyak bukan untuk kelompok atau pribadi.
3)
Maslahah
itu tidak boleh bertentangan dengan ketentan nash atau ketentuan ijmak dan
Qiyas.
Namun sekelompok ulama yang menentang Maslahatul Mursalah sebagai
sumber fikih mengemukakan dua alasan. Pertama bahwa syariat islam telah
memelihara semua kemaslahatan manusia yang disebutkan dengan jelas di dalam
Al-Qur’an dan sunnah melalui ijmak ulama dan Qiyas.
Seandainya
tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan
dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
F.
Tingkatan Maslahah
Pada ahli Ushul
Fiqh membagi maslahah kepada tiga tingkatan:
a. Al-Maslahah ad-Dharuriyyat
Al-Maslahah ad-Dharuriyyat adalah suatu bentuk
kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan
akhirat. Kemaslahatan ini sangat penting, karena apabila luput dalam kehidupan
manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan
kehidupan manusia. Kemaslahatan itu meliputi pemeliharaan agama, diri, akal,
keturunan dan harta.
b. Al-Maslahah al-Hajiyat
Al-Maslahah al-Hajiyat adalah suatu kemaslahatan
yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan
menghilangkan kesulitan yang dihadapi. Termasuk kemaslahatan ini semua
ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya.
Misalnya, keringanan berupa meringkas shalat (qashar) dan terbuka puasa bagi
orang yang musafir.
c. Al-Maslahah
al-Tahsiniyat
Al-Maslahah al-Tahsiniyat adalah kemaslahatan
yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan dhariyat dan
hajiyat. Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi
pekerti. Seandainya kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam kehiduan,
tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan
kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahatan ini tetap penting dan dibutuhkan
manusia. Misalnya, keharusan bersuci dalam ibadat, menutup aurat dan memakai
pakaian indah dan bagus.
F. penerapan maslahah pada
kasus ekonomi dan keuangan islam
A. Intervensi Harga pemerintah pada saat distorsi pasar
Menurut Islam negara memiliki hak
untuk melakukan intervensi dalam kegiatan ekonomi baik itu dalam bentuk
pengawasan, pengaturan maupun pelaksanaan kegiatan ekonomi yang tidak mampu
dilaksanakan oleh masyarakat.Intervensi harga oleh pemerintah bisa karena
faktor alamiah maupun non alamiah.Pada umumnya intervensi pemerintah berupa
intervensi kebijakan dalam regulasi yang berhubungan dengan permintaan dan
penawaran dan intervensi dalam menentukan harga. Intervensi dengan cara membuat
kebijakan yang dapat mempengaruhi dari sisi permintaan maupun dari sisi
penawaran (market intervention) biasanya dikarenakan distorsi pasar karena
faktor alamiah. Bila distorsi pasar terjadi karena faktor non almiah, maka
kebijakan yang ditempuh salah satunya dengan dengan intervensi harga di pasar.
Jumhur ulama
sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang terbentuk karena interaksi
kekuatan penawaran dan permintaan (mekanisme pasar). Mereka juga sepakat
menolak intervensi harga oleh pemerintah, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu
intervensi pemerintah dalam bentuk pengendalian harga dibenarkan. Intervensi
harga islami bertujuan untuk mengembalikan harga yang terbentuk akibat
terjadinya distorsi pada harga pasar (price equiblirium) atau harga yang adil
(qimah al-‘adl) sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim dari Rasulullahsaw.
Tercatat ada 4 cendekiawan besar muslim klasik yang berbicara mengenai
intervensi harga, yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, Ibnu Qudamah dan Ibnu
Kholdun. Diantara mereka ada yang mempunyai pandangan yang sama dalam hal intervensi
pasar yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali dan Ibnu Qudamah sedangkan Ibnu Kholdun
lebih menekankan pada urgensi mekanisme pasar sekalipun dalam tulisannya
ditemukan anjuran untuk intervensi pemerintah tapi tidak tegas
Menurut
Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi dapat
terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut:[8]
1.
Produsen tidak mau menjual produk-nya kecuali pada harga yang lebih tinggi
daripada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk tersebut.
2.
Terjadi kasus monopoli (penimbunan), para fuqoha’ untuk memberlakukan hak hajar
(ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh
pemerintah.
3.
Terjadi keadaan al hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya
terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga disini
untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak
dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.
4.
Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang
sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas ataupun
dibawah harga normal.
5.
Produsen menawarkan produk-nya pada harga yang terlalu tinggi menurut konsumen,
sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu rendah menurut produsen.
6.
Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada harga yang
lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku, padahal masyarakat membutuhkan
jasa tersebut.
Sementara
itu tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menurut Ibnu
Qudamah al Maqdisi 1374 M adalah sebagai berikut:
1.
Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat
2.
Untuk mencegah ikhtikar dan ghaban faa-hisy.
3.
Untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
B. Larangan
Dumping (siyasah ighraq) dalam penjualan suatu produk
Menurut kamus lengkap perdagangan
Internasional dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar
negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari yang nilai yang wajar,
biasanya di anggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat
harga pasar domestiknya atau di Negara ketiga.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia,
dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri denga jumlah
banyak dengan harga yang murah sekali dengan tujuan agar harga pembelian di
dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar
negeri dan dapat menguasai harga kembali[9].
Praktik dumping merupakan praktik
yang tidak fair, karna bagi Negara pengimpor praktek dumping akan menimbulkan
kerugian bagi dunia usaha atau industry barang sejenis dalam negeri, dengan
terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah
daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing,
sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang serta bankrutnya perusahaan
dalam negeri.
Dumping merupakan praktek dagang
yang dapat merusak mekanisme pasar. Ada berbagai macam akibat yang ditimbulkan
dari praktek dumping ini, antara lain adalah produk barang sejenis dalam negeri
kalah bersaing karena harga produk impor tersebut jauh lebih murah dibandingkan
dengan harga produk barang sejenis yang ada di Negara domestic, pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena perusahaan dalam negeri harus
menghemat biaya opersionalnya agar dapat bersaing dengan barang-barang impor
yang harganya murah tersebut, dan yang lebih parah lagi adalah tutupnya
perusahaan dalam negeri akibat produksinya terus menurun dan
barang-barangnya tidak laku di pasaran.
Itulah yang menjadikan alas an agama
islam melarang praktek dumping dalam kegiatan ekonomi, karna mengakibtkan
timbulnya mudharat dan hilangnya maslahat di masyarakat luas.
C. Larangan
Spekulasi Valas karena Maslahah ‘ammah
Usaha
spekulatif adalah bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala untuk
membeli sesuatu barang (komoditi) dengan harga yang murah pada suatu waktu dan
menjual barang yang sama dengan harga yang mahal pada waktu yang lain.
Seseorang yang melakukan kegiatan spekulatif dalam perdagangan biasanya
berharap kepada terjadinya fluktuasi harga yang tinggi di pasar. Apabila harga
masa depan (future price) diharapkan lebih tinggi daripada harga sekarang, maka
para pembeli spekulatif membeli suatu komoditi dengan maksud menjualnya dengan
harga yang lebih tinggi di kemudian hari. Demikian juga sebaliknya apabila
harga masa depan (future price) diharapkan lebih rendah dari harga sekarang,
para spekulan akan menjualnya sekarang untuk menghidarkan penjualan pada harga
yang lebih rendah nantinya.
Islam melarang praktek spekulasi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Hadist bahwa Nabi SAW berkata: “Barang siapa menumpuk persediaan gandum di masa kekurangan (dengan maksud memperoleh keuntungan kelak), ia berdosa besar.
Islam melarang praktek spekulasi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Hadist bahwa Nabi SAW berkata: “Barang siapa menumpuk persediaan gandum di masa kekurangan (dengan maksud memperoleh keuntungan kelak), ia berdosa besar.
Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan
dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fiqih
dengan istilah (sharf) yang disepakati para ulama
tentang keabsahannya. Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi
perekonomian suatu negara, anta lain menimbulkan ketidak stabilan nilai tukar
mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah
kegiatan jual beli valas cendrung mendorong jatuhnya nilai mata uang, karena
para spekulah sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu
negara berfluktuasi secara tajam.
D. Mengadakan Pengadilan Niaga Syari’ah
Pengadilan Agama sebagaimana yang
dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada
awalnya adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah. Seiring perkembangan ekonomi yang cukup pesat
khususnya dalam bidang hukum Islam, maka kewenangan Pengadilan Agama pun mengalami
perluasan dengan menangani perkara yang menyangkut bidang ekonomi syariah.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang mengatur tentang kewenangan
Peradilan Agama, yaitu:
"Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f)
zakat; (g) infak; (h) sedekah; dan (i) ekonomi syariah."
Lembaga Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah
adalah Basyarnas sebagaimana telah diatur Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Basyarnas sendiri adalah lembaga hakam (arbitrase
syariah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus
sengketa muamalah yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa dan
lain-lain.
Dari uraian di atas, sangat di perlukan suatu lembag pengadilan
Niaga syari’ah untuk mengatuk transaksi ekonomi dan memberikan manfaat dan
maslahah bagi kehidupan ekonomi masyarakat.
[1]
Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami,kairo
: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1971, hal 310-414
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfha fi ‘ilm al-Ushul, Beirut : Dar
al-Kutub al-‘illmiyyah, jilid I, 1983, hal 286
[3]
Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997
hal. 115-116
[6] http://oktaviawardani.blogspot.com/2013/05/kehujahan-maslahah-mursalah-dan.html
[7] Asywadie syukur, pengantar ilmu fiqih
dan ushul fiqih, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990, hal 117-119
[8]
http://dinulislami.blogspot.com/2013/02/intervensi-pasar.html
[9]
Departemen Pendidikan Nasional, kamus besar Bahasa Indonesia, Cet. I,
edidi IV, Jakarta : Balai Pustaka, hal.279
sangat membantu mbak terima kasih ya
BalasHapus