Kamis, 26 Maret 2015

maslahah dan penerapannya dalam ekonomi islam



BAB l
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ekonomi islam (ekonomi syari’ah) adalah salah satu bagian dari muamalah. Ekonomi islam cukup terbuka dalam memunculkan inovasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan yang sangat penting. Maslahah merupakan konsep terpenting dalam pengembangan ekonomi Islam.
penting kiranya bagi kita untuk memahami konsep maslahah, yang menjadi salah satu pilar penting dalam ekonomi dan bisnis syariah. Maslahah merupakan sebuah konsep yang berangkat dari tujuan utama syariat Islam, yang dikenal sebagai maqashid as-syariah. Menurut Imam As-Syatibi, orientasi utama dari maqashid as-syariah adalah memberikan perlindungan dan proteksi terhadap lima hal, yaitu agama, diri, keturunan, akal, dan harta. Kelima aspek ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam kehidupan, sehingga kerusakan pada salah satu aspek saja akan menimbulkan implikasi negatif yang luar biasa.
Dengan demikian, maslahah merupakan konsideran utama di dalam mengevaluasi nilai manfaat dan madharat dari kegiatan ekonomi dan bisnis. Perintah untuk menilai manfaat dan madharat, kemudian menimbang mana yang lebih besar, manfaatnya ataukah madharatnya, telah Allah nyatakan secara eksplisit dalam QS 2 : 219. Dan ayat tersebut menegaskan bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan Allah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian maslahah mursalah menurut para ulama
2.      Pembagian maslahah
3.      Pandangan ulama tentang kehujjahan maslahah mursalah dalam syari’ah
4.      Syarat-syarat maslahah mursalah
5.      Tingkatan maslahah
6.      Penerapan maslahah dalam kasus ekonomi dan keuangan islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maslahah Menurut Para Ulama
Kata maslahah  berasal dari kata bahasa arab   صَلَحَيَصْلُحُ  menjadi  صُلْحًا  atau مَصْلَحَةً    yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maslahah (Kesejahteraan Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk mewujubkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila di  katakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab di perolehnya manfaat lahir dan batin.[1]
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan diantaranya :
  1. Imam Ar-Razi Mendefinisikan sebagai berikut :
Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
2. Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai berikut :
            Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya ia menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
3.  Al-Khawarizmi mendefinisikan maslahah sebagai berikut :
            Memelihara tujuan hukum Islam dengan mencegah kerusakan/bencana (mafsadat) atau hal-hal yang merugikan diri manusia (al-khalq).
Secara terminology,, terdapat beberapa definisi maslahah yang di kemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali[2], mengemukakan bahwa prinsifnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Mazhab Maliki yang menjadikan Maslahatul Mursalah sebagai sumber fikih dengan dua alasan. Pertama bahwa kemaslahatan manusia selalu berubah menurut perubahan ruang dan waktu, dan setiap saat kemaslahatan itu bermunculan, karena itu kalau sumber fikih itu terbatas kepada nash saja akan terdapat banyak kemaslahatn yang tidak dapat ditetapkan hukumnya sedang yang seperti ini sangat bertentangan dengan tujuan syariat itu sendiri karena syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Kedua secara diduksi banyak ketentuan- ketentuan fikih yang ditetapka oleh para sahabat, tabi’it-tabi’in dan para ulama imam mazhab yang bersumber dari maslahatul mursalah.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Maslahah Mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum.Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya Maslahah Mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.






B.     Pembagian Maslahah
Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika di lihat dari beberapa segi.
A.    Di lihat dari segi kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli ushul fiqih membaginya kepada tiga macam yaitu :
1.                   Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama,jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini di sebut al-mashalil al-khamsah.
2.                   Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam mu’amalah di bolehkan melakukan jual beli pesanan.
3.                   Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahtan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya di anjurkan memakan makanan yang bergizi  dan berpakaian yang bagus-bagus.[3]
B.     Dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammd Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqih di universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu :
1.                   Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah.
2.                   Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.[4]
C.    Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1) Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2) Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
3) Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci.
D. Dari segi kandungan maslahah :
1)           Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk semua kepentingan orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
2) Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud) .Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.

D.    Pandangan Ulama tentang Kehujjahan Maslahah Mursalah dalam Syari’ah
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan  ulama ushul. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib danahlizahir. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karna kemaslahatan manusia  tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering di dasarkan pada kehendak hawa nafsu. Misalnya di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapat bagian harta warisan yang menurut mereka  hal tersebut mengadung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka , tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’ karenanya tidak di namakan maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang di jadikan patokan dalam menetukan kemaslahatan itu adalah kehendak  dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
            Mengenai kedudukan maslahah sebagai dalil hukum, Imam Syaukani mengatakan bahwa ada empat pendapat ulama dalam memakai maslahat mursalat sebagai dalil untuk menggali hukum islam, yaitu:
1.       ulama yang tidak memakai maslahat mursalat secra mutlak;
2.       Imam Malik menerapkan Maslahat Mursalat secara mutlak;
3.        Ibnu Burhan dan al-Juwaini dan mayoritas ulama Hanafiyah membolehkan memakainya sebagai dalil jika mula’imah (sesuai) dengan ashl al-kulli (prinsif umum) dan ashl-juz’I (prinsif parsial) dari prinsif-prinsif syariat;
4.       al-Ghazali dan al-Baidhawi menerima maslahat dengan tiga syarat, yaitu :
a.        terdapat kesesuaian maslahat dengan maksud hukum islam dan tidak bertentangan dnegan dalil yang pasti;
b.       maslahat tersebut dapat diterima oleh akal;
c.        maslahat bersifat dharuri, yakni untuk memelihara salah satu dari ; agama, akal, keturunan, kehormatan dan harta benda. Untuk mengurangi perbedaan pendapat para ulama dalam menanggapi maslahat, sebenarnya dapat di lakukan apabila maslahat mursalat di kaitkan dengan maqasid al-Syari’ah.[5]
Madzhab Maliki yang merupakan pembawa bendera Maslahat Mursalah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa mashlahah mursalah tersebut dijadikan sebagai hujjah dalam penentuan hukum, yaitu sebagai berikut [6]:
1.      Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah diantarannya: - Sahabat mengumpulkan Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan alasan menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya. - Khulafa ar-rosyidun menetapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Jika tidak dibebani ganti rugi ia akan ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya. - Umar Bin Khattab memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari kekuasaannya - Umar Bin Khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur air guna member pelajaran kepada mereka yang mencampur susu dengan air - Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) karena membunuh satu orang secara bersama-sama.
2.      Adanya maslahat sesuai dengan maqosid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syar’i
 3.      Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah selama berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.
E.     Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Maslahatul Mursalah yang dapat dijadikan sumber fikih apabila telah memenuhi tiga syarat; ketiga syarat ini untuk menjamin agar ketentuan hukum yang bersumber dari Maslahatul Mursalah tidak bertentangan dengan jiwa syariat[7]. Tiga syarat yang dimaksud ialah:
1)        Maslahah yang dimaksud adalah maslahah yang sebenarnya bukan hanya semata dugaan.
2)        Maslahah itu untuk masyarakat banyak bukan untuk kelompok atau pribadi.
3)        Maslahah itu tidak boleh bertentangan dengan ketentan nash atau ketentuan ijmak dan Qiyas.
            Namun sekelompok ulama yang menentang Maslahatul Mursalah sebagai sumber fikih mengemukakan dua alasan. Pertama bahwa syariat islam telah memelihara semua kemaslahatan manusia yang disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dan sunnah melalui ijmak ulama dan Qiyas.
Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
F.     Tingkatan Maslahah
Pada ahli Ushul Fiqh membagi maslahah kepada tiga tingkatan:
a. Al-Maslahah ad-Dharuriyyat
Al-Maslahah ad-Dharuriyyat adalah suatu bentuk kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan ini sangat penting, karena apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan itu meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta.
b. Al-Maslahah al-Hajiyat
Al-Maslahah al-Hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan kesulitan yang dihadapi. Termasuk kemaslahatan ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya. Misalnya, keringanan berupa meringkas shalat (qashar) dan terbuka puasa bagi orang yang musafir.
c. Al-Maslahah al-Tahsiniyat
Al-Maslahah al-Tahsiniyat adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan dhariyat dan hajiyat. Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Seandainya kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam kehiduan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahatan ini tetap penting dan dibutuhkan manusia. Misalnya, keharusan bersuci dalam ibadat, menutup aurat dan memakai pakaian indah dan bagus.


F.  penerapan maslahah pada kasus  ekonomi dan  keuangan islam
A. Intervensi Harga pemerintah pada saat distorsi pasar
            Menurut Islam negara memiliki hak untuk melakukan intervensi dalam kegiatan ekonomi baik itu dalam bentuk pengawasan, pengaturan maupun pelaksanaan kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh masyarakat.Intervensi harga oleh pemerintah bisa karena faktor alamiah maupun non alamiah.Pada umumnya intervensi pemerintah berupa intervensi kebijakan dalam regulasi yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran dan intervensi dalam menentukan harga. Intervensi dengan cara membuat kebijakan yang dapat mempengaruhi dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran (market intervention) biasanya dikarenakan distorsi pasar karena faktor alamiah. Bila distorsi pasar terjadi karena faktor non almiah, maka kebijakan yang ditempuh salah satunya dengan dengan intervensi harga di pasar.
Jumhur ulama sepakat bahwa harga yang adil adalah harga yang terbentuk karena interaksi kekuatan penawaran dan permintaan (mekanisme pasar). Mereka juga sepakat menolak intervensi harga oleh pemerintah, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu intervensi pemerintah dalam bentuk pengendalian harga dibenarkan. Intervensi harga islami bertujuan untuk mengembalikan harga yang terbentuk akibat terjadinya distorsi pada harga pasar (price equiblirium) atau harga yang adil (qimah al-‘adl) sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim dari Rasulullahsaw. Tercatat ada 4 cendekiawan besar muslim klasik yang berbicara mengenai intervensi harga, yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, Ibnu Qudamah dan Ibnu Kholdun. Diantara mereka ada yang mempunyai pandangan yang sama dalam hal intervensi pasar yaitu Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali dan Ibnu Qudamah sedangkan Ibnu Kholdun lebih menekankan pada urgensi mekanisme pasar sekalipun dalam tulisannya ditemukan anjuran untuk intervensi pemerintah tapi tidak tegas
Menurut Ibnu Taimiyah, keabsahan pemerintah dalam menetapkan kebijakan intervensi dapat terjadi pada situasi dan kondisi sebagai berikut:[8]
            1.      Produsen tidak mau menjual produk-nya kecuali pada harga yang lebih tinggi daripada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan produk tersebut.
            2.      Terjadi kasus monopoli (penimbunan), para fuqoha’ untuk memberlakukan hak hajar (ketetapan yang membatasi hak guna dan hak pakai atas kepemilikan barang) oleh pemerintah.
            3.      Terjadi keadaan al hasr (pemboikotan), dimana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada satu penjual atau pihak tertentu. Penetapan harga disini untuk menghindari penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena oleh pihak penjual tersebut.
            4.      Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas ataupun dibawah harga normal.
            5.      Produsen menawarkan produk-nya pada harga yang terlalu tinggi menurut konsumen, sedangkan konsumen meminta pada harga yang terlalu rendah menurut produsen.
            6.      Pemilik jasa, misal tenaga kerja, menolak untuk bekerja kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku, padahal masyarakat membutuhkan jasa tersebut.
Sementara itu tujuan adanya intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah menurut Ibnu Qudamah al Maqdisi 1374 M adalah sebagai berikut:
1.      Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat
2.      Untuk mencegah ikhtikar dan ghaban faa-hisy.
3.      Untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.
B. Larangan Dumping (siyasah ighraq) dalam penjualan suatu produk
            Menurut kamus lengkap perdagangan Internasional dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari yang nilai yang wajar, biasanya di anggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga pasar domestiknya atau di Negara ketiga.
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia, dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri denga jumlah banyak dengan harga yang murah sekali dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali[9].
            Praktik dumping merupakan praktik yang tidak fair, karna bagi Negara pengimpor praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industry barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang serta bankrutnya perusahaan dalam negeri.
            Dumping merupakan praktek dagang yang dapat merusak mekanisme pasar. Ada berbagai macam akibat yang ditimbulkan dari praktek dumping ini, antara lain adalah produk barang sejenis dalam negeri kalah bersaing karena harga produk impor tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan harga produk barang sejenis yang ada di Negara domestic, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran karena perusahaan dalam negeri harus menghemat biaya opersionalnya agar dapat bersaing dengan barang-barang impor yang harganya murah tersebut, dan yang lebih parah lagi adalah tutupnya perusahaan dalam negeri akibat produksinya terus menurun dan barang-barangnya  tidak laku di pasaran.
            Itulah yang menjadikan alas an agama islam melarang praktek dumping dalam kegiatan ekonomi, karna mengakibtkan timbulnya mudharat dan hilangnya maslahat di masyarakat luas.
C. Larangan Spekulasi Valas karena Maslahah ‘ammah
            Usaha spekulatif adalah bentuk usaha yang pada hakikatnya merupakan gejala untuk membeli sesuatu barang (komoditi) dengan harga yang murah pada suatu waktu dan menjual barang yang sama dengan harga yang mahal pada waktu yang lain. Seseorang yang melakukan kegiatan spekulatif dalam perdagangan biasanya berharap kepada terjadinya fluktuasi harga yang tinggi di pasar. Apabila harga masa depan (future price) diharapkan lebih tinggi daripada harga sekarang, maka para pembeli spekulatif membeli suatu komoditi dengan maksud menjualnya dengan harga yang lebih tinggi di kemudian hari. Demikian juga sebaliknya apabila harga masa depan (future price) diharapkan lebih rendah dari harga sekarang, para spekulan akan menjualnya sekarang untuk menghidarkan penjualan pada harga yang lebih rendah nantinya.
              Islam melarang praktek spekulasi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Hadist bahwa Nabi SAW berkata: “Barang siapa menumpuk persediaan gandum di masa kekurangan (dengan maksud memperoleh keuntungan kelak), ia berdosa besar.
Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dan dikategorikan dengan pertukaran antara emas dan perak atau dikenal dalam terminologi fiqih dengan istilah (sharf) yang disepakati para ulama tentang keabsahannya. Perdagangan valas menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, anta lain menimbulkan ketidak stabilan nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah kegiatan jual beli valas cendrung mendorong jatuhnya nilai mata uang, karena para spekulah sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi secara tajam.
D. Mengadakan Pengadilan Niaga Syari’ah
Pengadilan Agama sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada awalnya adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Seiring perkembangan ekonomi yang cukup pesat khususnya dalam bidang hukum Islam, maka kewenangan Pengadilan Agama pun mengalami perluasan dengan menangani perkara yang menyangkut bidang ekonomi syariah. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang mengatur tentang kewenangan Peradilan Agama, yaitu:
"Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a) perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf; (f) zakat; (g) infak; (h) sedekah; dan (i) ekonomi syariah."
Lembaga Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah adalah Basyarnas sebagaimana telah diatur Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Basyarnas sendiri adalah lembaga hakam (arbitrase syariah) satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain.
Dari uraian di atas, sangat di perlukan suatu lembag pengadilan Niaga syari’ah untuk mengatuk transaksi ekonomi dan memberikan manfaat dan maslahah bagi kehidupan ekonomi masyarakat.


[1] Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami,kairo : Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1971, hal 310-414
[2] Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfha fi ‘ilm al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub al-‘illmiyyah, jilid I, 1983, hal 286
[3] Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997 hal.  115-116
4 Ibid., hal 117
[5]Fathurrahman  Azhari , ushul fiqih, Banjarmasin :  LPKU, 2014, jilid I, hal. 153
[6] http://oktaviawardani.blogspot.com/2013/05/kehujahan-maslahah-mursalah-dan.html
[7] Asywadie syukur, pengantar ilmu fiqih dan ushul fiqih, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990, hal 117-119
[8] http://dinulislami.blogspot.com/2013/02/intervensi-pasar.html
[9] Departemen Pendidikan Nasional, kamus besar Bahasa Indonesia, Cet. I, edidi IV, Jakarta : Balai Pustaka, hal.279

1 komentar: